Selasa, 12 April 2011

pembangunan ekonomi daerah

Pembangunan ekonomi sejak Pelita I hingga krisis 1997 memang telah member hasil-hasil positif bagi perekonomian Indonesia,terutama jika dilihat dari sisi kinerja ekonomi makronya.tingkat PN rill rata-rata per kapita mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari hanya rata-rata US$ 50 pertengahan 1960-an menjadi lebih dari US$ 1000 pertengahan 1990-an, dan bahkan Indonesia sempat disebut sebagai calon Negara industri di Asia Tenggara, satu tingkat dibawah NICs.namun dilihat dari sisi kualitas nya, ternyata proses pembangunan ekonomi selama Orde Baru telah menciptakan suatu kesenjangan yang besar,baik dalam bentuk ketimpangan dalam distribusi pendapatan antar kelempok pendapatan maupun kesenjangan ekonomi/pendapatan daerah/provinsi. Pembangunan ekonomi yang tidak merata antar provinsi membuat sebagian masyarakat di banyak daerah di luar pulau jawa seperti aceh, irian jaya(papua), dan riau ingin melepaskan diri dari Indonesia. Bahkan dapat dikatakan bahwa menangnya kelompok prokemerdekaan di Timor Timur tidak lepas dari kekecewaan dari sebagian besar masyarakatnya melihat kenyataan bahwa bergabungnya mereka dengan Indonesia selama Orde Baru tidak menghasilkan pembangunan ekonomi yang berarti di wilayah mereka.
Untuk menganalisis keberadaan dan peran dari out layers dalam bentuk pola ketimpangan regional, dilakukan dua langkah pemisahan data. Seperti yang dijelaskan di Tadjoeddin dkk.(2001) sebagai berikut.pertama, nilai minyak dan gas bumi di keluarkan dari PDRB semua kabupaten/kota, dan output pertambangan dikeluarkan dari PDRB kabupaten Fakfak. Setelah itu, angka PDRB per kapita menurut kabupaten kota tersebut diurutkan dari yang terkecil sampai yang terbesar. Ternyata, 13 kabupaten/kota teratas memiliki nilai PDRB per kapita yang sangat tinggi. Daerah-daerah ini adalah daerah yang memiliki kekhususan dalam hal karekteristik ekonominya yang bisa digolongkan menjadi daerah kantong industri, perdagangan dan jasa. Oleh karena nya, pada langkah kedua ke 13 kabupaten/kota tersebut dikeluarkan dari analisis.
Untuk meningkatkan peranan dan partisipasi daerah dalam pembangunan ekonomi nasional, tidak ada cara lain selain daripada membangun perekonomian daerah dengan menerapkan Strategi Agroindustri Berorientasi Ekspor di seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah pusat perlu memberikan dukungan secara serius dengan menerapkan Strategi Promosi Ekspor Berbasis Agribisnis. Hal ini menuntut adanya penataan ulang kelembagaan yang ada saat ini, yang salah satu diantaranya adalah reorganisasi Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, dan Departemen Kelautan dan Perikanan menjadi Departemen Agribisnis Pertanian, Departemen Agribisnis Kehutanan, dan Departemen Agribisnis Kelautan dan Perikanan. Jika Strategi Promosi Ekspor Berbasis Agribisnis berjalan dengan baik, maka seluruh daerah akan memberikan konstribusi secara optimal terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, mengurangi kesenjangan ekonomi antar daerah, mengurangi pengangguran, serta mengurangi tingkat kemiskinan.
Uraian ini menunjukkan betapa pentingnya pengembangan kebijakan serta pembangunan kelembagaan dan kemampuan dalam dan bagi proses pemulihan ekonomi dan untuk menjamin pembangunan ekonomi berkelanjutan. Persoalan ini telah menjadi semakin sulit dan rumit karena proses pemulihan kita ini dilaksanakan dalam suatu era globalisasi yang tidak hanya menyempitkan ruang tetapi juga menyusutkan waktu. Pembangunan kelembagaan dan kemampuan membutuhkan waktu, tetapi kita dituntut untuk meng-akselerasi proses ini agar bisa berpartisipasi dengan sukses dalam ekonomi global. Sementara itu pengembangan kebijakan ekonomi, politik dan sosial yang tepat untuk menghadapi globalisasi juga semakin dipersulit oleh merebahnya gelombang “anti-globalisasi” yang penuh retorika salah kaprah dan kerancuan yang bisa menyesatkan.
Setiap tahun lembaga seperti World Economic Forum (WEF) dan International Institute for Management Development (IIMD) menerbitkan daftar peringkat daya saing internasional sejumlah negara. Indeks daya saing itu ditetapkan berdasarkan pernilaian atas delapan kelompok karakteristik struktural ekonomi bersangkutan. Kedelapan karakteristik itu adalah: (1) keterbukaan terhadap perdagangan dan keuangan internasional; (2) peran fiskal dan regulasi pemerintah; (3) pembangunan pasar finansial; (4) kualitas infrastruktur; (5) kualitas teknologi; (6) kualitas manajemen bisnis; (7) fleksibilitas pasar tenaga kerja dan pembangunan sumber daya manusia; dan (8) kualitas kelembagaan hukum dan politik. Menurut ukuran ini daya saing ekonomi sebenarnya ditentukan oleh ketiga faktor tadi: kebijakan, kelembagaan dan kemampuan. Pengembangan ketiga faktor ini merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi daerah yang kompetitf. Pada akhirnya kekuatan kelembagaan dan kemampuan nasional seharusnya bukanlah yang dicerminkan dengan yang terdapat di Jakarta tetapi dengan yang ada di seluruh Indonesia. Daya saing ekonomi daerah tidak dapat dilihat dalam konteks nasional, yaitu antar ekonomi daerah, tetapi harus dikembangkan dalam konteks internasional. Karena itu tidak dapat dihindari bahwa pembangunan ekonomi daerah harus diselenggarakan dengan pola yang secara tegas berorientasi ke luar.
Pengalihan kewenangan ke Tingkat II menjanjikan pengembangan partisipasi rakyat dalam pembangunan dan pembangunan sistim yang semakin demokratis. Tetapi otonomi di Tingkat II untuk beberapa tahun mendatang, mungkin sampai 10 tahun, belum tentu menjamin terselenggaranya pembangunan ekonomi daerah yang kompetitif dan efisien karena pengembangan kebijakan dan pembangunan kelembagaan dan kemampuan di banyak daerah Tingkat II akan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Lemahnya pengembangan kebijakan serta kelembagaan dan kemampuan di daerah sangat tampak dari minimimnya prakarsa di daerah dan usulan-usulan yang datang dari daerah untuk melaksanakan program desentralisasi dan otonomi daerah. Di waktu lalu pembangunan daerah digagaskan dan dilaksanakan terutama oleh pusat. Kini terdapat bahaya bahwa proses desentralisasi juga akan diselenggarakan secara tersentralisasi.
Program desentralisasi dan otonomi daerah merupakan pekerjaan besar dan harus berhasil dengan baik. Melihat keragaman kemampuan maka pelaksanaannya harus didasarkan pada sequencing yang jelas dan penerapan bertahap menurut kemampuan daerah. Dalam proses pemulihan ekonomi nasional, pelaksanaan program desentralisasi yang tergesa-gesa tanpa kesiapan memadai akan mengganggu pemulihan ekonomi yang pada gilirannya akan merugikan pembangunan ekonomi daerah sendiri. Maka sangat mungkin diperlukan suatu kesepakatan baru. Proses desentralisasi tidak perlu diakselerasi. Yang perlu diakselerasi adalah pengembangan kelembagaan dan kemampuan, termasuk untuk pengembangan kebijakan, pada tingkat daerah — khususnya daerah Tingkat II. Ini merupakan kerja nasional yang harus mendapat prioritas pertama dan dilaksanakan terutama di daerah. Inilah inti dari pemberdayaan ekonomi daerah yang merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi daerah yang kompetitif dan efisien.
Tulus Tambunan : perekonomian indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar